:::: MENU ::::

Menguak Skandal Cambridge Analytica

Privasi dan penggunaan data pribadi adalah salah satu permasalahan utama yang disoroti setelah skandal Cambridge Analytica menjadi topik hangat akhir-akhir ini.

Siapakah Cambridge Analytica?

CA (Cambridge Analytica) adalah perusahaan konsultasi politik yang memanfaatkan data mining dan analisis. CA didirikan pada tahun 2013 sebagai anak perusahaan SCL group, bersama dengan Steve Bannon, yang kemudian menjadi penasehat strategis Donald Trump.

Apa yang dilakukan oleh Cambridge Analytica, yang dianggap tidak etis?

CA memperoleh data pribadi milik sekitar 50 juta pengguna Facebook melalui aplikasi kuis yang bernama this is your digital life. Mereka membayar 270.000 user untuk menggunakan aplikasi tersebut, dan dari user tersebut mereka mengakses pengguna lain yang ada di dalam daftar pertemanan mereka. Data tersebut kemudian digunakan sebagai input untuk mengembangkan algoritma psikografik analisis. Hasil analisisnya kemudian digunakan untuk melakukan targeted campaign melalui berbagai iklan dan content.

Apa itu psikografik analisis?

Analisis psikografik adalah metode analisis yang mencoba menggambarkan kepribadian seseorang berdasarkan data-data preferensi mereka, dalam hal ini diwakili oleh content atau status yang kita post, like dan klik. Intinya, selain data profil kita, setiap kita melakukan posting maupun klik atau like pada entry tertentu, data aktifitas tersebut juga akan diambil dan dianalisis untuk membentuk profil kepribadian kita.

Apakah pengumpulan data yang dilakukan menggunakan aplikasi Facebook semacam itu sesuatu yang luar biasa atau ilegal menurut Facebok?

Ternyata tidak. Mengumpulkan data pribadi user dengan iming-iming kuis kepribadian atau aplikasi lainnya di facebook, beserta data pengguna lain yang berada di dalam daftar pertemanannya, ternyata merupakan praktek yang lazim dilakukan oleh para internet marketer. Hal tersebut dapat dilakukan karena Facebook memang menyediakan API yang memungkinkan developer mengakses data user dan semua orang di friendlist user tersebut.

Microstrategy misalnya, memiliki data sekitar 17 juta pengguna, yang didapatkan dari 52.600 instalasi aplikasi, dengan masing-masing user ‘membawa’ sekitar 300 teman dalam friendlist mereka. LoudDoor, sebuah perusahaan yang khusus menangani iklan di Facebook, bahkan mengklaim 12 juta instalasi aplikasi Fan Satisfaction, yang menghasilkan data sekitar 85 juta penduduk Amerika. Dan ini bisa jadi hanyalah semacam puncak dari sebuah gunung es, karena pada dasarnya siapa saja bisa melakukan hal yang sama.

Praktek eksploitasi data pribadi untuk kepentingan politik ini sebenarnya sudah ‘tercium’ sejak jauh hari. The Guardian misalnya, sudah menulis mengenai penggunaan data pribadi dalam kampanye-kampanye politik. Propublica, sebuah organisasi nonprofit yang melakukan jurnalisme investigatif, bahkan membuat aplikasi yang bertujuan memonitor targeted ads tersebut. CA tentunya bukan satu-satunya perusahaan yang melakukan praktek sejenis, dan Donald Trump pun tentu bukan satu-satunya klien yang memanfaatkan jasa semacam ini.

Lalu mengapa baru saat ini kontroversi ini meledak?

Penyebabnya adalah Christopher Wylie, seorang mantan pegawai SCL yang juga ikut dalam pembentukan Cambridge Analytica mengungkap skandal ini, yang kemudian ditayangkan oleh The Guardian dan New York Times pada tanggal 17 Maret 2018.
Sehari kemudian para anggota Parlemen di Inggris dan Amerika menuntut penjelasan kepada Facebook, mengenai bagaimana data pribadi puluhan juta penggunanya dapat jatuh ke tangan perusahaan yang menangani kampanye Presiden Trump di tahun 2016 lalu.
Setelah berbagai laporan mengenai keterlibatan CA pada pemilu di beberapa negara lain bermunculan, pada tanggal 20 Maret, CA men-suspend CEO mereka, Alexander Nix. Akibat skandal ini, nilai saham Facebook turun sampai 9% atau sekitar US$60 miliar.

Apa yang dilakukan Facebook dalam menanggapi skandal ini?

Banyak pihak menilai Facebook kurang serius menanggapi isu ini. Lima hari pertama sejak meledaknya kasus ini Facebook tidak memberikan pernyataan apapun. Baru setelah marak tagar #deletefacebook yang diikuti banyak tokoh, termasuk diantaranya Elon Musk, Mark Zuckerberg memberikan pernyataan. Intinya adalah Facebook menyesalkan insiden yang terjadi, dan mengambil beberapa tindakan, yaitu :

  • Akan menyelidiki aplikasi-aplikasi yang mengakses data user beserta user lain di friendlistnya dalam jumlah besar, sebelum Facebook mengubah kebijakannya di tahun 2014. Sejak tahun 2014 aplikasi tidak lagi dapat mengakses data user lain selain yang menginstal aplikasi tersebut. Facebook akan mem-blacklist developer yang tidak bersedia diaudit.
  • Mematikan akses developer ke data user, jika user tersebut tidak menggunakan aplikasi yang bersangkutan selama 3 bulan, dan mengurangi jenis informasi yang bisa diakses oleh aplikasi tersebut ketika user sign in.
  • Membuat tools yang menunjukkan list aplikasi apa saja yang dapat mengakses data user, dan menampilkannya di atas newsfeed, serta memudahkan user untuk mengubah ijin akses tersebut. Tools ini ditargetkan selesai bulan depan.

Bagaimana sebenarnya tim pemenangan Trump (dan mungkin banyak lagi yang lainnya), menggunakan data dalam menyukseskan kampanye mereka?

Untuk kasus Trump, mereka membuat lebih dari 100.000 situs web yang dirancang khusus untuk berbagai profil psikologis dan preferensi dari kelompok-kelompok kecil targetnya. Hal ini disebut dengan microtargeting. Untuk menyebarkan link ke situs tersebut, mereka membeli $2 million dollars Facebook ads, yang mengarahkan pengguna ke website-website tersebut. Ratusan ribu website tersebut dibuat sekontroversial mungkin, sesuai dengan kecenderungan user yang ditarget, terkadang menggunakan fake news, black campaign dan berbagai clickbait.

Dalam mengelompokkan dan mengarahkan iklan, mereka memanfaatkan fitur “Audience Targeting Options”, dan “Lookalike Audiences”. Dua fitur ini merupakan alat yang jika dikelola dengan lihai akan dapat menyampaikan iklan ke segmen yang sesuai. Dua fitur tersebut, dipadukan dengan informasi dan profil yang dihasilkan dari algoritma yang dipergunakan oleh Cambridge Analytica, berhasil menjangkau para calon pemilih di masa itu, dan memberikan hasil yang luar biasa, yaitu terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika.

Terlepas dari berbagai kontroversi dan permasalahan yang melingkupinya, kasus ini memberikan bukti nyata akan kekuatan data yang sebenarnya. Data yang diolah dengan piawai, dapat menjadi senjata yang sangat ampuh, yang dapat mengubah dunia dalam arti yang sesungguhnya. Di samping itu kita juga mendapat gambaran, bisnis apa yang ada di belakang berbagai aplikasi dan media sosial di dunia, mengapa begitu banyak orang mau berinvestasi besar-besaran ke dalam perusahaan-perusahaan yang menghasilkan data besar, seperti Facebook, Twitter, GoJek, dan lain-lain.

“These stories illustrate a simple truth : information is power. Anyone who hold a vast amount of information about us has power over us.” (Julia Angwin – Dragnet Nation)

Contributor :


M. Urfah
Penyuka kopi dan pasta (bukan copy paste) yang sangat hobi makan nasi goreng.
Telah berkecimpung di bidang data processing dan data warehousing selama 12 tahun.
Salah satu obsesi yang belum terpenuhi saat ini adalah menjadi kontributor aktif di forum idBigdata.
Tertarik dengan Big Data beserta ekosistemnya? Gabung